Entri Populer

Senin, 02 Januari 2012

Info Untuk Masyarakat

Pikirkan Sebelum Rugi

Maraknya lembaga keuangan (non bank)terkait pemberian pasilitras kredit kendaraan bermotor bak jamur di musim hujan. Pasilitas dan kemudahan kredit ditawarkan kepada konsumen sebagai bagian dari produk untuk mengundang daya tarik. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia yang hegemonis tergiur dengan iming-iming kemudahan yang ditawarkan.

Kemudahan pemberian pasilitas kredit kendaraan bermotor berdampak sangat komplek, dari mulai kemacetan di jalan raya hingga merugikan sector ekonomi rumahan (angkot). Akibatnya, bisa dilihat pada jam kerja? Begitu membludaknya kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat berjejal memadati jalan raya.

Pemberian kredit, ketika sesaat memang tidak merasa jadi beban. Namun beban tersebut pasti datang ketika melongok dari jumlah hutang dan jangka waktu kredit. Bagaimana tidak dengan jumlah bunga bank yang diberlakukan yang akan mencekik leher. Yang namanya ekonomi dan penghasilan bukan matematika yang selalu menggunakan ilmu ukur pasti. Sudah barang tentu akan selalu ada naik turun dan pasang surut dari setiap pereodik. Nah disini kita harus berpikir ulang sebelum bertindak agar jangan sampai terjerat yang akan merugikan.

Berdasarkan catatan dan leteratur yang ada terkait kredit kendaraan bermotor (leasing)pihak konsumen selalu pada posisi yang rugi manakala terjadi wanprestasi. Puluhan bulan kredit dilakukan (cicilan) tidak akan berbekas apabila wanprestasi. Pihak leasing akan gagah berani menarik kembali kendaraan yang telah dicicil dengan dalih terlambat membayar. Apabila ada penyelesiannya pun konsumen selalu pada posisi terpojok. Pihak leasing selalu menyodorkan dengan cara pelunasan secara menyeluruh plus dengan bunga dan denda tanpa tending aling-aling ditambah biaya penarikan.

Nah disini akan muncul kerugian di pihak konsumen (debitur), contonya harga sebuah kendaraan roda dua (motor) baru dengan harga cash Rp.11,5 juta apabila melalui lembaga keuangan (non bank) leasing akan membengkak hamper Rp.18,5 juta belum uang muka alias dp (down payment)kira-kira Rp.1 juta. Secara rasio bunga bank yang ditapkan hamper mencapai 80 persen lebih.

Yang jadi aneh dan selalu menjadi pertanyaan, berapa harga dari sebuah kendaraan bermotor plus pajak kendaraan? Coba teliti dari faktur yang diterima, harganya tertera jelas antara Rp.5 juta dan Rp.6 juta dari harga motor baru Rp. 11,5 juta. Jika dihitung dengan Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) tidak akan nyampai sebesar harga di pasaran.

Berbagai kasus penarikan unit selalu terjadi, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terkesan mandul dan dipermainkan. Ironisnya pihak leasing selalu menggunakan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia dalam melakukan perjanjian perikatan jaminan benda bergerak dengan konsumen. Namun kenyataan dilapangan banyak perusahaan leasing (pembiayaan) mengkangkangi UU Fidusia.

Berdasarkan temuan penulis banyak sekali perjanjian kredit secara fidusia terutama kendaraan roda dua (motor) tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia Departemen Hukum dan HAM oleh pihak leasing. Sementara dalam praktek di lapangan lembaga pembiayaan selalu mengatasnamakan fidusia dalam sita jaminan. Padahal sebagaimana di atur dalam UU Fidusia pasal 11 “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”.

Jadi, apabila pihak leasing tidak bisa membuktikan sertifikat fidusia yang dterbitkan Dephumham, maka secara hukum pihak leasing tidak bisa begitu saja menarik jaminan (unit). Adapun perjanjian yang telah disepakati antara pihak leasing dan konsumen (debitur) itu hanya perjanjian utang piutang saja.

Pasalnya perjanjian secara fidusia bisa berlaku secara mengikat apabila pihak leasing melalui notaries yang ditunjuk mendaftarkan perjanjian kredit tersebut ke kantor pendaftaran fidusia, sebagai mana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan fiducia.

Tidak sedikit kasus yang terjadi menimpa konsumen, apabila barang jaminan (unit) di pindah tangankan atau digadaikan oleh debitur (konsumen). Dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia sudah jelas diatur tentang pidana pasal 35 “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, dan pasal 36 “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta) rupiah”.

Ke dua pasal tersebut bisa diproses oleh penyidik atas dasar laporan finance apabila pihak lembaga pemberian kredit (finance) telah memenuihu unsure yang diatur dalam PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan fiducia.

Sayangnya masih saja ada oknum polisi “karena dekat dan kenal” dijadikan alat oleh lembaga finance untuk melakukan penyitaan unit dengan dalih pasal 35 dan 36 tersebut. Padahal finance tidak bisa membuktikan sertifikat fidusia sebagai rujukan pemberlakuan pasal tersebut.

Tampaknya, lembaga finance harus kembali gigit jari karena surat MABES POLRI sebelumnya kembali dimentahkan oleh surat ke 2 yaitu surat dari Kabareskrim No. Pol: B/2110/VIII/2009/Bareskrim tertanggal 31 Agustus 2009 yang ditanda-tangani oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jendral Drs Susno Adji., S.H.,M.H., M.Sc Tentang Prosedur Penanganan Kasus Perlindungan Konsumen.

Supaya diketahui, dengan Surat Kabareskrim MABES Polri yang dikeluarkan pada bulan Agustus 2009 dan ditandatangani oleh Komjen Soesno Djuaji merujuk pada 2 Undang-Undang yaitu KUHAP dan UU Perlindungan Konsumen.

Namun bilamana sertipikat fiducia tidak dapat ditunjukan oleh Lembaga Finance maka Penyidik dapat menolaknya berdasarkan surat Kabareskrim tersebut. Dan menyerahkan persoalan itu kepada BPSK untuk dilakukan pemeriksaan dan persidangan di BPSK. Kemudian bilamamana terdapat indikasi pidana UU Perlindungan Konsumen, maka barulah PPNS pada Direktorat Perlindungan Konsumen menyerahkan penyidikan lebih lanjut kepada pihak Polri. (Penulis adalah Pimpinan Umum Opini Publik)